Selasa, 28 September 2010

Multi Level Marketing (MLM) dan Alkitab (Bagian 1)

Sumber: Buletin Pemuda GRII (Pilar)
http://www.buletinpillar.org

Dalam dunia bisnis sekarang istilah Multi Level Marketing (MLM) sudah tidak asing lagi. Kita melihat banyak perusahaan MLM seperti Amway, CNI, NuSkin, Oriflame, dan lain-lain bertebaran mewarnai pasar bisnis Indonesia dan juga dunia. Tidak heran bila banyak orang, termasuk umat Kristiani, tertarik dengan apa yang dijanjikan oleh bisnis ini. Sekilas, MLM adalah usaha yang menguntungkan dengan profil yang menjanjikan. Namun demikian, apakah MLM adalah usaha yang sesuai dengan Firman Tuhan, panutan hidup kita? Apakah yang menjadi pemicu MLM? Apa kelebihan dan keburukannya? Di bawah ini adalah percakapan yang mengupas habis MLM dari sisi historis, filosofis, dan karakteristik untuk memberikan sebuah gambaran yang menyeluruh.

Pada suatu petang, tiga sekawan—Kiasu Nafsu, Steve Skeptik, dan Reffie Reformed—sedang membicarakan tawaran salah satu teman mereka, Susan Sukses, untuk mengikuti bisnis MLM. Berawal dari distributor biasa, Susan yang sudah berkecimpung di dalam bisnis ini selama empat tahun telah berhasil memiliki mobil mewah. Merasa tidak puas dengan penghasilannya saat ini, Kiasu pun tergiur oleh kesuksesan Susan dalam bisnis MLM. Steve, di sisi lain, merasa ragu akan kesempatan yang ditawarkan bisnis ini. Di tengah-tengah argumentasi, mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk meneliti lebih dalam setiap aspek MLM. Janji bertemu di kemudian hari untuk melanjutkan pembahasan ditepati dan inilah kisah hasil penelitian mereka...

Kiasu: Guys, menurut risetku yah... Katanya sistem MLM ini adalah sistem yang paling cepat berkembang belakangan ini dan yang paling menguntungkan. Tapi aku belum sempat riset tentang asal-muasal perkembangannya.

Steve: Eh, justu riset gua tentang itu! Gini loh, cicit buyut asal MLM adalah Skema Ponzi atau yang bahasa kerennya Ponzi Scheme. Ponzi Scheme ini dimulai oleh Charles Ponzi di Boston tahun 1919 ketika dia buka Securities Exchange Company. Dia mulai scheme ini dengan meminjam uang dan mengeluarkan nota pelunasan dalam 90 hari dengan keuntungan 50%.

Kiasu: Hah? Ngasih pinjam uang trus dapet 50% untung dalam 90 hari?

Steve: Iya, makanya... siapa sih yang nggak mau? Scheme-nya si Ponzi langsung melejit, semua membabi buta (kasihan yah udah babi, buta lagi) mau ikutan, dan ini melibatkan hampir semua kalangan… ada politikus, ada polisi, dan sebagainya.

Kiasu: Trus si Ponzi gimana cara bayar 50% keuntungan dari setiap investor?

Steve: Dia menipu para investor-nya dengan menggunakan uang dari para investor baru untuk membayar ‘keuntungan’ para investor lama. Ponzi meraup keuntungan sebanyak US$15 juta sebelum akhirnya dia kena tangkep, dipenjara, dan dideportasi ke Itali tahun 1934.

Reffie: Steve, kenapa emangnya si Ponzi, apa salah dia? Ehm, Ponzi scheme itu gimana sih detailnya?

Steve: Ciri-ciri Ponzi ini adalah nggak ada penjualan barang/jasa tapi cuma bilang ke investor kalo sistemnya rumit dan jadi dirahasiain. Pokoknya, investor dijanjikan keuntungan dengan persentase yang sangat tinggi dalam waktu tertentu. Jadi, pencetus skema ini bertindak sebagai pusat bagi korban-korbannya dan berinteraksi dengan mereka semua secara langsung. Nggak lama kemudian, pencetus skema ini bakalan menghilang dengan semua uang yang telah di-invest kalau nggak mau bangkrut. Atawa, pembuat skema ini hancur karena kekurangan dana baru untuk bayar keuntungan yang dijanjikan atau keburu ketangkep sama polisi kayak si Ponzi.

Reffie: Kreatif juga tuh orang, bisa kepikir gini-ginian. Sayang kreatifitasnya nggak dipakai untuk memuliakan Tuhan.

Steve: Tapi nggak lama kemudian, muncul pyramid scheme (skema piramida) yang mirip Ponzi Scheme. Skema ini memerlukan suntikan dana baru, lalu melibatkan penipuan dalam penerimaan dan pendistribusian uang sedemikian rupa yang memungkinkan keuntungan peserta awal dari kerugian peserta yang bergabung belakangan.

Kiasu: So abis Ponzi, muncul pyramid setelah itu yah?

Steve: Iya, nggak lama setelah itu. Kira-kira tahun 1935, dengan memakai jasa pengiriman pos, beberapa surat berantai mulai bermunculan di Denver, misalnya yang bernamakan ‘Prosperity Club’ dan slogan ‘In God We Trust.’ Berbagai macam surat berantai serupa pun akhirnya menyebar ke seluruh Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Cara pyramid ini yaitu surat berantai yang dikirim itu berisi daftar 5-10 nama dan alamat yang didistribusikan ke pembeli. Terus, pembeli diminta untuk mengirim sejumlah uang (misalnya US$1) kepada orang yang namanya di urutan pertama. Pembeli lalu menghapus nama orang pertama tersebut dari daftar, menaikkan nama-nama lainnya satu urutan dan memasukkan namanya sendiri (dan beberapa nama orang lain) di urutan bawah. Daftar terbaru ini lalu di kirimkan ke setiap orang yang terdaftar dan mudah-mudahan prosedur ini akan terulang terus sampai akhirnya nama sang pembeli ini ada di urutan pertama dan mendapatkan keuntungan.

Kiasu: Oh... so mereka yang mendapat surat itu harus meneruskan yah? Kayak dapet e-mail yang minta kita forward ke 10 orang maka bisa enteng jodoh, diberkati, dan kalo ndak bisa kena bisul seluruh tubuh lah, putus cinta lah...

Steve: Polanya emang sama. Trus di taon 1967, Glenn W. Turner mengembangkan sebuah skema distribusi yang mengadopsi konsep surat berantai itu di Orlando, Florida. Perusahaannya bernama Kosmetics Company of Tomorrow (Koscot) Interplanetary, ngakunya sih menjual produk kosmetik dari bahan dasar spesial namun sebenernya dia menjual hak menjadi distributor. Seorang anggota perlu bayar uang keanggotaan dan menjadi distributor, yang memungkinkannya menjual produk kosmetik, tapi yang paling penting, memungkinkannya menjual hak menjadi distributor ke orang-orang lainnya. Ini hampir sama dengan konsep surat berantai, yaitu anggota di urutan teratas dan anggota yang merekrut mendapatkan uang dari anggota baru tersebut. Anggota baru ini sendiri mendapat posisi di urutan bawah.

Kiasu: Jadi si Turner ini polanya lebih kepada jual hak distributor yah dibanding jual produk?

Steve: Iya, produk itu hanya kedok belaka. Selain itu Glenn Turner juga mendirikan perusahaan Dare To Be Great sebagai badan pelatihan para anggota atau calon anggota Koscot Interplanetary yang ‘memaparkan’ kesuksesan dan kekayaan yang menanti mereka.... Tujuan akhir dari pelatihan ini untuk membujuk anggota atau calon anggota untuk membeli paket yang tersedia.

Kiasu: Wah untung besar donk yah dia? Nasibnya trus gimana tuh? Apa sama seperti Ponzi Scheme akhirnya?

Steve: Tahun 1975, Federal Trade Center (FTC) di Amerika Serikat memutuskan kalo sistem piramid yang dipake Koscot Interplanetary adalah ilegal, dan keputusan ini (Koscot 86 F.T.C. at 1180) lalu menjadi penentu definisi apakah sebuah perusahaan dibilang pyramid atau bukan. Ciri-ciri pyramid adalah adanya pembayaran uang oleh peserta ke perusahaan sebagai ganti hak untuk menjual produk dan hak untuk menerima penghasilan karena merekrut peserta-perserta lain ke dalam program-program bonus yang ada. Program bonus ini ternyata nggak berkaitan dengan penjualan produk kepada konsumen. Pyramid ini sekarang udah berkembang jadi banyak variasi, jadinya cukup sulit untuk bisa langsung mengenalinya. Meskipun begitu, ternyata variasi-variasinya punya beberapa kesamaan, yaitu adanya barang untuk diperjualbelikan tapi harganya jauh lebih mahal dari harga pasaran. Hal ini hanya dipake sebagai kedok. Selain itu, ada janji keuntungan yang tinggi buat konsumen atau investor, dan kalo merekrut peserta lain akan langsung dapet keuntungan dari peserta itu. Dan lagi, keuntungan besar dikeruk oleh investor-investor awal lewat kerugian anggota-anggota akhir skema pyramid ini. Ada juga kewajiban untuk bayar biaya keanggotaan baik yang terang-terangan maupun yang terselubung dalam bentuk kewajiban membeli sejumlah produk dan penjualan produk secara personal. Semenjak pyramid ini dilarang oleh pemerintah Amerika Serikat, berkembanglah Multi-Level Marketing (MLM). Pada tahun 1979, Amway dituntut oleh FTC karena didakwa sebagai skema piramid. Namun demikian, Amway berhasil lolos dan kemenangan itu jadi patokan perkembangan MLM secara legal di Amerika Serikat. Dalam keputusan ini, skema yang diadopsi oleh Amway nggak dikategorikan sebagai pyramid scheme. Saat ini, MLM juga dikenal sebagai Network Marketing (NWM).

Kiasu: Oh... berarti MLM legal dong.... Tapi kenapa yah MLM ndak dikategorikan sebagai pyramid scheme?

Steve: Soalnya menurut mereka tuh, skema yang dipakai lebih berperaturan ritel daripada pyramid scheme. Misalnya distributor diwajibkan menjual 70% dari hasil produk yang sudah dibeli kepada non-distributor, trus distributor harus ngejual paling sedikit ke 10 orang setiap bulan dan terakhir inventaris yang nggak kejual boleh dikembalikan.

Reffie: Tapi laen ama kenyataannya tuh. Itu sih boleh jadi panutan yang melegalkan MLM tapi hampir semua perusahaan MLM acuh tak acuh tuh. Masalahnya mereka masih bisa jalan terus karena sistem MLM yang mereka pakai selalu berubah dan bisa berkelit dari hukum. Lagian pihak berwajib mana bisa menyamai kecepatan mereka berubah?

Steve: Sebenernya, MLM adalah pyramid scheme yang terselubung. Kita disuruh beli produk untuk menjadi anggota itu sebenernya adalah uang pendaftaran yang tersembunyi. Plan kompensasi yang disodorkan juga bertujuan untuk merekrut distributor secara terus-menerus. Selain itu, MLM mempunyai ciri-ciri yang sama seperti pyramid scheme dengan beberapa tambahan atau variasi, misalnya MLM biasanya menjual barang yang lebih mahal dibanding barang-barang setarafnya di pasaran, tentunya dengan mengatakan produk mereka lebih unggul. Penjualan ini juga sebenernya merupakan sebuah kedok untuk ‘melegalkan’ pyramid scheme. Untuk orang yang mau ikutan, dia musti beli suatu produk yang harganya biasanya mahal, istilahnya, untuk ‘pembayaran uang keanggotaan’ alias hidden membership fee. Trus mereka menjanjikan keuntungan yang gila-gilaan sehingga dalam waktu beberapa tahun, asal kita rajin rekrut orang, kita bisa pensiun umur muda ... asoy.

Kiasu: Hmm... tapi bukannya MLM lebih dari itu? Sebenernya apa sih yang membuat sebuah bisnis itu MLM?

Steve: Ini emang a bit tricky sih soalnya nggak ada batasan-batasan yang jelas tentang MLM.

Reffie: Emang agak sulit sih, tapi dulu saya ketemu satu artikel yang bagus buat ngejelasin batasan apakah suatu sistem itu MLM atau bukan. Artikel ini ditulis oleh John M. Taylor, Ph.D., presiden dari Consumer Awareness Insitute dan advisor dari Pyramid Scheme Alert di Amerika Serikat. Dia ada bilang lima hal. Pertama, setiap anggota yang sudah direkrut dipersiapkan dan diberikan insentif untuk merekrut orang lainnya, yang kemudian akan dipersiapkan dan diberikan insentif untuk merekrut orang lainnya lagi, dan seterusnya, sehingga jadi rantai perekrutan yang tak habis-habisnya tanpa memperhitungkan kejenuhan market. Kedua, orang naik pangkat dalam MLM bukan karena hasil ditunjuk jadi naik pangkat tetapi karena dia berhasil rekrut banyak orang. Ketiga, seperti yang Steve dah jelasin, orang baru harus “bayar untuk terlibat” kalo pingin ikut program MLM-nya. Keempat, perusahaan MLM bisa ngasih komisi dan bonus kepada distributor sampe beberapa level yang cukup banyak misalnya sampe lima level. Yang terakhir, perusahaan MLM memberi bayaran lebih jika kita merekrut orang dibanding kita beli barang. Jadi lebih untung rekrut orang dibanding mengkonsumsi barang dalam sistem MLM.

Kiasu: Kamu risetnya gahar juga yah? Sebenernya aku udah persiapin beberapa poin positif tentang MLM. Gimana kalo kita coba lihat poin demi poin, mungkin ada yang baik yang boleh kita ambil, sedangkan yang jelek kita buang. Misalnya, pertama, MLM adalah pilihan terbaik untuk memulai bisnis sendiri dan attain real economic independence. Ok dong? Setuju ndak, Steve?

Steve: Hmm... MLM bukan self-employment karena sebenernya bekerja untuk orang-orang di upline. Beberapa MLM bahkan melarang distributor menjual produk dari perusahaan lain. Dan mereka harus hanya taat kepada peraturan dan cara menjual produk yang diberikan satu perusahaan MLM tersebut sehingga penjual nggak boleh sembarangan dalam berkreasi mengaplikasikan teknik marketing lain.

Kiasu: BENER JUGA! Tapi kan MLM bisa dikerjain waktu senggang sehingga menawarkan fleksibilitas besar and personal freedom of time...

Steve: Gua nggak setuju. Justru untuk bisa sukses di MLM dibutuhkan komitmen waktu yang luar biasa panjang dan butuh kemampuan berbisnis juga, sedangkan waktu seseorang nggak maju-maju pasti kena tuduh dia nggak tekun alias males. Loh bukannya awal-awalnya kita diiming-imingi nggak usah jam kerja panjang-panjang tapi waktu kita udah kecemplung mereka bilang kita males, kurang bertekun lah. Ini namanya kontradiksi sendiri.

Kiasu: Oh, aku belum pernah ikut, jadi ndak tau apakah bener begitu. Paling ndak yang aku tau itu MLM adalah metode distribusi yang menekankan distribusi langsung dari produsen kepada konsumen tanpa perantaraan wholesaler/middleman sehingga MLM mengurangi biaya distribusi.

Steve: Apa kamu bener yakin barang mereka lebih murah, Su? Karena natur MLM yang lebih bersifat mencari profit melalui recruitment, perusahaan-perusahaan MLM ini berlomba-lomba bersaing dengan cara menawarkan komisi yang lebih tinggi dibanding perusahaan lainnya. Ada yang bahkan mencapai 60-75% dari hasil penjualan! Semakin tinggi komisi, perbedaan antara company cost dan wholesale price pun harus lebih tinggi. Karenanya, wholesale dan retail price produk tersebut pun semakin tinggi. Tanpa benefit yang lebih superior dari produk lain di pasaran, kita bisa saja akhirnya membeli sebotol 200 ml shampoo, mungkin diiringi dengan klaim nggak berdasar mengenai khasiat kandungan yang hebat seharga Rp 250.000!

Kiasu: Tapi itu kan karena orang-orang yang menjalankannya yang rusak. Sebenernya kalo orang yang menjalankannya bener, misalnya kita orang Kristen, mustinya ndak akan terjadi seperti begitu.

Reffie: Jadi Su, menurut kamu sistemnya atau orang yang menjalankannya yang rusak? Mungkin setelah penjelasan berikut baru kita bisa lebih jelas. Tapi sebelumnya, saya mau menekankan sesuatu. Setelah kita diskusi lebih panjang lebar, yang harus kita sadari yaitu bahwa kita nggak akan ikut MLM hanya karena MLM punya lebih banyak “Plus” daripada “Minus,” tetapi bukankah kita harus bertanya apakah MLM itu sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan atau nggak?

Steve: Wah, ini gua nggak tahu. Emangnya prinsip Alkitab apa yang bertentangan dengan MLM?

Reffie: Emang nggak tertulis jelas-jelas seperti di sepuluh hukum Tuhan, “Jangan ikut MLM,” tetapi semangat dan spirit yang menjiwai MLM pasti nggak sesuai dengan prinsip Alkitab. Untuk menjawab pertanyaan kamu ini, Steve, saya harus menjelaskan cukup panjang mulai dari sejarahnya terlebih dahulu sehingga kalian mengerti dengan tuntas. Saya pernah diajak ikut beberapa tahun yang lalu dan sudah riset cukup banyak sebelumnya. MLM mulai berkembang tahun 1960-an ketika New Age Movement (NAM) sedang semarak melanda dunia Barat. Jadi nggak heran kalo NAM ini menjadi arus zaman yang memicu timbulnya MLM.

Kiasu: Apa hubungan NAM dan MLM? Gimana NAM bisa jadi arus zamannya? Ada-ada aja...

Reffie: Untuk memperjelas hubungan NAM dan MLM, kita musti ngerti dulu NAM dan sejarah perkembangannya. Latar belakang NAM itu awalnya dari kejatuhan zaman modern yang berpucuk pada dua filsafat dasar: Rasionalisme dan Empirisisme.

Kiasu: Bisa tolong jelasin dikit? Kalo udah ngomongin filsafat, aku dah mulai blank nih. Maklum buta filsafat.

Reffie: Rasionalisme ini adalah filsafat mendewakan kemampuan berasio manusia di atas segalanya. Semangat ini menekankan bahwa kebenaran haruslah bisa dibuktikan dan dinalar melalui daya pikir manusia. Sedangkan Empirisisme adalah filsafat pembuktian dan perumusan melalui indera. Dengan kata lain, semua yang nggak masuk akal atau nggak bisa dibuktikan di laboratorium nggak dapat diterima kebenarannya. Dampak dari filsafat ini yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi jadi berkembang pesat. Namun di sisi lain, hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas dan emosional ditekan, bahkan dibuang karena nggak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Puncak zaman modern, sekaligus akhir daripada perkembangannya, terjadi pada Perang Dunia II. Zaman yang diharapkan mampu membawa kehidupan manusia ke dalam tahap yang sempurna karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi malah membawa kehancuran ke dalam kehidupan manusia, seperti pertumpahan darah akibat haus kekuasaan dan degradasi alam karena eksploitasi habis-habisan. Lalu para filsuf Barat, setelah ngeliat zaman modern runtuh, jadi sadar pentingnya aspek spiritualitas yang mereka dulunya buang. Mereka mulai ngeliat ke dunia Timur di mana hal-hal mistis masih dijunjung tinggi. Para filsuf Barat kemudian mengadopsi filsafat Monisme dan Pantheisme sebagai hasilnya. Monisme boleh dibilang filsafat kesamaan. Filsafat ini pada prinsipnya adalah segala sesuatu, baik alam, manusia, benda mati, dan lain-lain, punya esensi yang sama dan saling terhubung satu dengan yang lain. Dalam prinsip ini nggak ada batasan perbedaan antara mahluk yang satu dengan yang lainnya, termasuk dengan allah. Sedangkan yang kedua, Pantheisme, adalah filsafat realisasi diri manusia sebagai allah. Filsafat ini menekankan bahwa segala hal adalah bagian dari allah, termasuk jagad raya, alam, dan manusia, karena itu segala sesuatu adalah allah. Prinsip ini juga sama dengan Monisme, nggak ada batasan antara pencipta dan ciptaan. Penyatuan antara sisa-sisa zaman modern dan mistik Timur inilah yang kemudian berkembang sebagai filsafat Gerakan Zaman Baru atau New Age Movement (NAM). NAM ini bersemangatkan piramida – we are at the top. We know and we feel that we are at the top. NAM anggap mereka adalah peradaban tertinggi di mana setiap manusia adalah allah-allah kecil dan akan menjadi penguasa jika keallahan di dalam dirinya dibangkitkan. Manusia menyadari bahwa peradaban Barat yang hanya berfokus pada logika dan Timur yang terlalu menekankan mistik, kedua-duanya nggak berfungsi, maka generasi selanjutnya mengambil yang baik-baiknya dari Barat dan Timur: ilmu tertinggi Barat dan filsafat/mistik tercanggih Timur dikawinkan. Mereka percaya bahwa inilah kebudayaan terhebat yang dapat dipikirkan manusia dan sekarang sudah dicapai dalam NAM. This is the best we can reach. Inilah puncak dari apa yang manusia dalam kebudayaan idam-idamkan dan impikan. We are at the top!

Kiasu: Menarik juga! Tapi terus apa hubungannya?

Reffie: Filsafat dan semangat NAM itulah yang menjiwai sistem MLM. Maka kalau sistemnya sudah rusak dan bobrok, orang-orang yang masuk ke dalam sistem itu otomatis akan terperangkap dalam sistem MLM. NAM mengadopsi mistik Timur dan menganut konsep kebenaran yang relatif seperti yang digambarkan dalam konsep Yin-Yang. Yang hitam nggak hitam seutuhnya, ada putih di dalamnya dan yang putih pun ada hitam di dalamnya. Maka dalam konsep bisnis MLM nggak ada batasan yang jelas antara produsen dan pembeli. Dalam MLM sang pembeli adalah sang produsen juga. Yang beli juga jual dan yang jual juga beli.

Steve: Eh, itu turunan dari ajaran Monisme bukan? Lalu gimana dengan Pantheisme?

Reffie: Pantheisme mengajarkan kita semua adalah allah. Aplikasinya di dalam MLM, kita semua adalah bos. Lain dengan sistem manajerial perusahaan-perusahaan pada umumnya, di mana semua bawahan bertanggung jawab kepada yang di atasnya dan yang di atas juga berhak memecat yang di bawah. Tetapi nggak demikian dengan MLM. Semua upline dan downline sekaligus menjadi bos semua. Kamu adalah bos, saya adalah bos, semua adalah bos, bos adalah semua. Inilah pantheisme dalam dunia bisnis. Dan lagi mistik Timur percaya bahwa kita semua adalah allah yang belum dibangunkan atau masih tertidur, perlu dibangkitkan dan disadarkan terlebih dahulu. Sebenarnya manusia mempunyai potensi nggak terbatas, bukan hanya manusia bisa menjadi allah tetapi manusia sudah allah hanya belum sadar aja. Sedang dalam MLM, potensi manusia nggak terbatas itu dikaitkan dengan kemampuan manusia nggak terbatas untuk mencari sebanyak-banyaknya downline, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari sesama manusia lainnya. MLM sangat erat kaitannya dengan motivational seminar, atau human-potential development movement misalnya seperti Anthony Robins yang menulis “Awaken the Giant Within.” Orang-orang MLM harus terus-menerus mengikuti training atau seminar yang bertemakan self-development untuk terus memotivasi dan mengingatkan mereka bahwa mereka adalah allah yang mempunyai potensi nggak terbatas, terutama kepada mereka yang mulai discouraged karena mengalami kesulitan-kesulitan lapangan dalam mencari downline. Seminar bisnis NAM secara kuat menekankan penilaian positif. Beberapa seminar menjual “self congratulation.” Mereka mengatakan bahwa masalah kita, sebagian besar, adalah karena penilaian akan diri kita yang buruk. Untuk menjadi “kapten bagi nasib kita” kita harus menangkap kemudi ini dengan mengagungkan diri kita sendiri tanpa batas. Percaya pada diri sendiri, itulah kuncinya.

Kiasu: Lalu kalo sekarang kita tahu bahwa MLM itu dikemudikan oleh NAM, emang apa bahayanya? Koq aku masih belum jelas bahayanya di mana?

Reffie: Karena MLM di-drive oleh NAM baik secara filsafat maupun semangatnya, maka MLM mempunyai arah dan semangat yang sama seperti NAM.

Steve: Kamu nggak berlebihan, Reff? Segitu mengerikankah?

Reffie: Kita bisa lihat beberapa kengerian yang ditimbulkan oleh MLM baik secara ekonomi maupun secara pengaruh filsafat hidup. Secara ekonomi, MLM adalah suatu sistem yang hanya akan menguntungkan segelintir orang dan merugikan ribuan bahkan jutaan kali jumlah segelintir orang tersebut. Bayangkan suatu sistem MLM yang satu orang harus merekrut 5 orang di bawahnya untuk menjadi downline-nya baru balik modal. Di level kedua, 5 orang tersebut harus merekrut 25 orang untuk balik modal. Di level ketiga adalah 125, dan seterusnya. Su, kira-kira ini bisa bertahan sampai level keberapa? Coba hitung kalau kita ada di level ke-11, perlu berapa orang?

Kiasu: Tunggu yah, aku hitung pake handphone... Level ke-11 adalah errmm… 9.765.625 orang. Wah... hampir 10 juta!

Reffie: 10 juta tuh sudah hampir populasi seluruh Jakarta! Yang mendapat untung adalah segelintir orang di atas sedangkan jutaan orang di bagian paling bawah hanya gigit jari karena sudah nggak ada lagi orang yang bisa dijadiin “korban” mereka. Kamu pikir ini suatu sistem yang masuk akal?

Steve: Gile bener.... Berarti mereka di level atas yang untung besar, untungnya didapat dari kerugian banyak orang di bawah dan yang digembar-gemborkan selalu keuntungan dari segelintir orang yang di atas itu?

Reffie: Yup! Tapi sebetulnya dalam sistem MLM memang hanya segelintir orang yang untung secara ekonomi, tetapi secara keseluruhan semua orang rugi! Rugi apa? Bukan hanya rugi uang, juga rugi tenaga dan waktu. Yang mereka nggak sadar adalah mereka telah menjual jiwa mereka terhadap filsafat Monisme dan Pantheisme di belakang MLM. Dilihat dari sudut pandang filsafat hidup, ini suatu sistem yang kalau dilihat dari pengaruh Zeitgeist begitu luar biasa, karena orang pada umumnya nggak menyadari bahaya yang ditimbulkan, termasuk orang Kristen pun nggak menyadarinya. Berapa banyak orang Kristen yang bukan hanya ikut tetapi juga menjadi suporter kuat MLM tanpa sadar? MLM dengan filsafat NAM berusaha merubah paradigma orang, pertama-tama melalui bidang ekonomi, kemudian akan merembet ke bidang-bidang hidup lainnya.

Kiasu: Tapi... apakah ndak ada nilai positifnya dari sistem ini? Kalau masalah Zeitgeist, mana ada zaman yang ndak ada Zeitgeist-nya? Apa semua sistem yang ada di sepanjang zaman salah semuanya?

Reffie: Mari kita lihat dari sisi Reformed Theology...

(Bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar